Monday, August 27, 2012

Randu Bukan Cuma Kapuk untuk Kasur

DULU, jika pohon randu (ceiba pentandra) mulai berbunga, menjadi pertanda kedatangan musim hujan. Musim kemarau pun ditandai oleh kulit buah randu yang pecah dan angin menerbangkan kapuk yang putih, halus, dan lembut ke udara. Kalau pohon randunya banyak, gumpalan kapuk yang diterbangkan angin itu mirip salju.

Namun, saat ini pohon randu mulai sulit ditemukan selain di daerah yang selama ini menjadi sentra tanaman tersebut, yakni Kabupaten Pati. Di daerah itu pun sekarang mulai terjadi pengurangan pohon yang masif, baik karena dianggap bukan lagi sebagai penghasil komoditas bernilai maupun ditebang untuk keperluan lain.
Sampai tahun 1970-an kita masih gampang menemukan pohon randu berjajar di pinggir jalan, di jalan masuk menuju perkampungan, atau sengaja ditanam di kebun-kebun milik petani di pedesaan. Randu dan produk-produk turunannya pernah mengalami masa kejayaan. Pada masa kolonial, kapuk dan minyak biji kapuk menjadi komoditas ekspor unggulan.

Kapuk randu bahkan memunculkan industri yang kini tinggal kenangan, yakni kasur. Industri itu membuka lapangan kerja cukup luas, mulai pengepul kapuk, jasa keliling perbaikan kasur, hingga produsen kasur berbahan baku kapuk. 

Namun, sejak springbed memasuki pasar kita dan harganya makin terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, secara perlahan tapi pasti kasur kapuk tersingkir. Tinggal sebagian kecil orang yang kebetulan ’’alergi’’ terhadap kasur sintetis masih bertahan menggunakan kasur jadul itu untuk mendukung kenyamanan tidur mereka.

Industri kapuk yang surut, baik kasur maupun minyak bijinya, juga disebabkan oleh luas areal tanaman randu yang terus menyusut. Di Pati, contohnya, 2008 luas tanamannya mencapai 17.870 hektare dengan produksi  8.370,71 ton. Tahun berikutnya turun menjadi 16.484 hektare dan produksi 8.344,15 ton. Pada 2010 susut lagi menjadi 16.330 hektare produksi turun 119,31 ton.

Pengurangan pasokan kapuk akibat penurunan produksi membuat para pengusaha mencampur kapuk dengan kapuk yang didatangkan dari Thailand. Beberapa pabrik minyak biji kapuk terpaksa menghentikan produksi karena kelangkaan bahan baku. 

Salah satu pabrik pengolah minyak biji kapuk di Kauman, Juwana, Pati yang kini mangkrak, semasa jaya dan bahan baku melimpah bisa mengolah 24 ton biji kapuk per hari. Semula pabrik yang berdiri 1937 itu memproduksi minyak kacang, tetapi sejak 1971 beralih ke minyak biji kapuk. 

Dari 24 ton biji kapuk itu, yang menjadi minyak hanya 14%, sedangkan sisanya berupa bungkil yang bisa diekspor untuk pakan ternak dan media pembiakan jamur merang. Minyak biji kapuk diekspor ke Jepang sebagai bahan insektisida dan pelumas mi basah agar tidak mudah apek. Abu kulit buah randu bisa menjadi soda kristal untuk bahan baku sabun. 

Pasar semua produk turunan kapuk randu tergolong besar. Selain dalam negeri, pasar Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia siap menampung. Namun yang perlu dipecahkan adalah soal keterbatasan bahan baku dan dana. Di samping itu, dibutuhkan dukungan pemerintah dalam pengembangan kapuk randu dan kelangsungan industri yang mengolah komoditas tersebut.

Kapuk randu bukan cuma soal kasur, melainkan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai industri yang punya nilai tambah. Misalnya, selain minyak dan sabun, kulit buahnya bisa dijadikan sebagai bahan baku kertas. Minyak bijinya juga memungkinkan sebagai bahan bakar alternatif.(09)

Sumber : suaramerdeka

No comments:

Post a Comment