DULU, jika pohon randu (ceiba pentandra) mulai berbunga, menjadi
pertanda kedatangan musim hujan. Musim kemarau pun ditandai oleh kulit
buah randu yang pecah dan angin menerbangkan kapuk yang putih, halus,
dan lembut ke udara. Kalau pohon randunya banyak, gumpalan kapuk yang
diterbangkan angin itu mirip salju.
Namun, saat ini pohon randu mulai sulit ditemukan selain di daerah
yang selama ini menjadi sentra tanaman tersebut, yakni Kabupaten Pati.
Di daerah itu pun sekarang mulai terjadi pengurangan pohon yang masif,
baik karena dianggap bukan lagi sebagai penghasil komoditas bernilai
maupun ditebang untuk keperluan lain.
Sampai tahun 1970-an kita masih gampang menemukan pohon randu
berjajar di pinggir jalan, di jalan masuk menuju perkampungan, atau
sengaja ditanam di kebun-kebun milik petani di pedesaan. Randu dan
produk-produk turunannya pernah mengalami masa kejayaan. Pada masa
kolonial, kapuk dan minyak biji kapuk menjadi komoditas ekspor unggulan.
Kapuk randu bahkan memunculkan industri yang kini tinggal kenangan,
yakni kasur. Industri itu membuka lapangan kerja cukup luas, mulai
pengepul kapuk, jasa keliling perbaikan kasur, hingga produsen kasur
berbahan baku kapuk.
Namun, sejak springbed memasuki pasar kita dan harganya makin
terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, secara perlahan tapi pasti
kasur kapuk tersingkir. Tinggal sebagian kecil orang yang kebetulan
’’alergi’’ terhadap kasur sintetis masih bertahan menggunakan kasur
jadul itu untuk mendukung kenyamanan tidur mereka.
Industri kapuk yang surut, baik kasur maupun minyak bijinya, juga
disebabkan oleh luas areal tanaman randu yang terus menyusut. Di Pati,
contohnya, 2008 luas tanamannya mencapai 17.870 hektare dengan produksi
8.370,71 ton. Tahun berikutnya turun menjadi 16.484 hektare dan
produksi 8.344,15 ton. Pada 2010 susut lagi menjadi 16.330 hektare
produksi turun 119,31 ton.
Pengurangan pasokan kapuk akibat penurunan produksi membuat para
pengusaha mencampur kapuk dengan kapuk yang didatangkan dari Thailand.
Beberapa pabrik minyak biji kapuk terpaksa menghentikan produksi karena
kelangkaan bahan baku.
Salah satu pabrik pengolah minyak biji kapuk di Kauman, Juwana, Pati
yang kini mangkrak, semasa jaya dan bahan baku melimpah bisa mengolah 24
ton biji kapuk per hari. Semula pabrik yang berdiri 1937 itu
memproduksi minyak kacang, tetapi sejak 1971 beralih ke minyak biji
kapuk.
Dari 24 ton biji kapuk itu, yang menjadi minyak hanya 14%, sedangkan
sisanya berupa bungkil yang bisa diekspor untuk pakan ternak dan media
pembiakan jamur merang. Minyak biji kapuk diekspor ke Jepang sebagai
bahan insektisida dan pelumas mi basah agar tidak mudah apek. Abu kulit
buah randu bisa menjadi soda kristal untuk bahan baku sabun.
Pasar semua produk turunan kapuk randu tergolong besar. Selain dalam
negeri, pasar Malaysia, Jepang, Korea Selatan, dan Australia siap
menampung. Namun yang perlu dipecahkan adalah soal keterbatasan bahan
baku dan dana. Di samping itu, dibutuhkan dukungan pemerintah dalam
pengembangan kapuk randu dan kelangsungan industri yang mengolah
komoditas tersebut.
Kapuk randu bukan cuma soal kasur, melainkan memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai industri yang punya nilai tambah. Misalnya, selain
minyak dan sabun, kulit buahnya bisa dijadikan sebagai bahan baku
kertas. Minyak bijinya juga memungkinkan sebagai bahan bakar
alternatif.(09)
Sumber : suaramerdeka
No comments:
Post a Comment